Thursday, 19 June 2014

LIMA AJARAN DASAR TEOLOGI MU’TAZILAH

LIMA AJARAN DASAR TEOLOGI MU’TAZILAH
Kelima ajaran dasar mu’tazilah yang tertuang dalam Al-ushul al-khamsah adalah at-tauhid (pengesaan tuhan), al-adl (keadilan tuhan), al-waad wa al-wa’id (janji dan ancaman tuhan), al-manzilah bain al-manzilatain (posisi diantara dua posisi) dan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy an al-mungkar (menyerukan kepada kebaikan dan mencegah pada kemungkaran).
1.      At-Tauhid
At-tauhid (pengesaan tuhan), merupakan prinsip utama dan intisari ajaran mu’tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam islam memegang doktrin ini. Namun, bagi mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaeseaan-Nya. Tuhanlah satu-satunya yang esa, yang unik dan tidak ada satupun yang menyamainya. Oleh karena itu, hanya dialah yang qadim. Jika ada lebih dari satu yang qadim, maka telah menjadi ta’addud al-qudama (berbilangnya dzat yang tak berpermulaan). Untuk memurnikan keesaan tuhan (tazih), mu’tazilah menolak konsep tuhan memiliki sifat-sifat, menggambarkan fisik tuhan (antromorfisme tajassum), dan tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan itu esa, tak ada satupun yang menyamai-NYA. Dia maha melihat, mendengar, kuasa, mengetahui dan sebagainya. Namun, itu semua bukanlah sifat Allah, malainkan dzatnya. Menurut mereka, sifat adalah sesuatu yang melekat. Bila sifat tuhan itu qodim, maka yang qodim itu berarti ada dua, yaitu dzat dan sifatnya. Wasil bin Atha’ seperti yang dikutip oleh Asy-Syahrastani  mengatakan “siapa yang mengatakan sifat yang qadim, berarti telah menduakan tuhan”. Ini tidak dapat diterima karena merupakan perbuatan syirik. Apa yang disebut dengan sifat menurut mu’tazilah adalah dzat tuhan itu sendiri. Abu Hudzail, sebagaimana di kutip oleh Musthafa Muhammad, berkata “Tuhan mengetahui dengan ilmu, dan ilmu itu adalah Tuhan itu sendiri. Tuhan berkuasa dengan kekuasaannya, dan kekuasaan itu adalah tuhan itu sendiri”. Dengan demikian, pengetahuan dan kekuasaan tuhan adalah tuhan itu sendiri, yaitu dzat dan esensi tuhan, bukan sifat yang menempel pada dzatnya.
Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-qur’an itu baru (diciptakan), Al-qur’an adalah manifestasi dari kalam tuhan, Al-qur’an terdiri atas rangkaian huruf, kata, dan bahasa yang satunya mendahului yang lainnya.

2.      Al-Adl
Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-adl yang berarti “tuhan maha adil”. Adil ini merupakan sifat yang paling gambling untuk menunjukkan kesempurnaan. Karena tuhan maha sempurna, di sudah pasti adil. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, kerena diciptakannya alam semesta ini sesungguhnya untuk kepentingan manusia. Tuhan dikatakan adil jika bertindak hanya yang baik (ash-saleh) dan terbaik (al-ashlah), dan bukan yang tidak baik. Begitu pula tuhan itu dipandang adil jika tidak menyalahi/ melanggar janjinya. Dengan demikian, tuhan terikat oleh janjinya.
Ajaran tentang keadilan ini berkaitan erat dengan beberapa hal, antara lain:
A)    Perbuatan manusia
B)    Berbuat baik dan terbaik
C)    Mengutus rasul


3.      Al-Wa’d Wa Al-Wa’id
Ajaran ketiga ini sangat erat hubungannya dengan ajaran kedua di atas. Al-wa’d wa al-wa’id berarti janjin dan ancaman. Tuhan yang maha adil dan maha bijaksana tidak akan melanggar janjinya. Perbuatan tuhan terikat dan dibatasi oleh janjinya sendiri, yaitu memberi pahala berupa surga bagi orang yang mau berbuat baik (al-muthi) dan mengancam dengan siksa neraka bagi orang yang durhaka (al-ashi). Begitu pula janji tuhan untuk member pengampunan bagi yang mau bertobat nashuha, pasti benar adanya.
Ini sesuai dengan prinsip keadilan. Jelasnya, siapapun yang berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan pula dan juga sebaliknya, siapa yang berbuat jahat akan dibalas denga siksa yang pedih. Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang bagi tuhan, selain menuaikan janjinya. Yaitu memberi pahala bagi orang yang taat dan menyiksa orang-orang yang berbuat maksiat, kecuali bagi yang sudah bertobat nasuha. Tidak ada harapan bagi pendurhaka, kecuali bila ia bertobat. Kejahatan dan kedurhakaan yang menyebabkan pelakunya masuk kedalam neraka ,merupakan dosa besar, sedangkan bagi dosa kecil, mungkin Allah mengampuninya. Ajaran ini tampaknya bertujuan mendorong menusia berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa.
4.      Manzilah Bain Al-Manzilataini
Inilah ajaran yang mula-mula melahirkannya aliran Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar. Seperti yang tercatat dalam sejarah, khawarij menganggap orang tersebut sebagai orang musyrik, sedangkan murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap mu’min dan dosanya sepenuhnya diserahkan sepenuhnya pada tuhan. Boleh jadi dosa itu diampuni tuhan. Adapun pendapat wasil bin ata’ (pendiri mazhab Mu’tazilah) lain lagi. Menurutnya, orang tersebut, berada diantara dua posisi (al-manzilah bain al-manzilatain). Karena ajaran ini, wasil bin ata’ dan sahabatnya amr bin ubaid harus memisahkan diri (I’tizal) dari majlis gurunya, hasan al-basri. Berawal dari ajaran itulah dia membangun mazhabnya.
Pokok ajaran ini adalah bahwa mu’min yang melakukan dosa besar dan belum tobat bukan lagi mu’min atau kafir, tetapi fasiq. Izutsu, dengan mengutip ibn hazm, menguraikan pandangan mu’tazilah sebagia berikut “orang yang melakukan dosa besar disebut fasiqin . Ia bukan mu’min bukan pula kafir, bukan pula munafik (hipokrit).”Mengomentari pendapat tersebut izutsu menjelaskan bahwa sikap mu’tazilah adalah membolehkan hubungan perkawinan dan warisan antara mu’min pelaku dosa besar dan mu’min lain dan dihalalkannya binatang sembelihannya.

5.      Al- Amr Bi Al-Ma’ruf Wa An-Nahy An-Munkar
Ajaran dasar yang kelima adalah menyuruh pada kebajikan dan melarang pada kemunkaran (Al-amr bi Al-ma’ruf wa An-nahy an-Munkar). Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan mengajak pada kebajikan dan melarang pada kemunkaran.

Perbedaan mazhab Mu’tazilah dengan mazhab yang lain mengenai ajaran kelima ini terletak pada tatanan pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah, jika memang diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut. Sejarahpun telah mencatat kekerasan yang pernah dilakukannya ketika menyirkan ajaran-ajarannya.

No comments:

Post a Comment